Kamis 22 November 2018 dilaksanakan Seminar Dosen dengan tema:“Telaah Kritis Terhadap Hadits Riwayat Ibn Abbas Tentang Puasa ‘Asyura” Narasumber Zainudin, Moderator Sulaiman Jazuli, S.Pd.I, M.Pd kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka suasana budaya akademik di lingkungan Kampus STAI Darul Ulum Kandangan tiap bulan diadakan Seminar Dosen dengan tema dan narasumber berbeda-beda secara bergantian dari dosen tetap, di seminar ini dihadiri Ketua STAI Darul Ulum Kandangan, Wakil Ketua Akademik dan Non Akademik, Kepala SPI, Dosen dan mahasiswa.
Mengawali pemaparannya narasumber menjelaskan dalam pembahasan fiqh dikenal istilah puasa sunnah, salah satunya adalah puasa ‘asyura (puasa yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram). Malahan sejumlah literatur fiqh yang merujuk pada beberapa hadits Nabi saw yang di-takhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menilainya sebagai sunnah muakkad. Tegasnya, puasa ‘asyura dalam ketentuan fiqh minimal berstatus sebagai puasa sunat. Puasa ‘asyura yang baru dikenal pasca hijrah ditemukan indikasi adanya manipulasi sumber informasi (tadlis), penggunaan istilah dan penyebutan waktu yang tidak tepat juga ditemukan beberapa informasi yang kontradiktif tentang waktu pertama pengenalan dan diperintahkannya puasa ‘asyura, serta pernah tidaknya Rasulullah mempraktikkan puasa ‘asyura dan puasa tasu’a.
Kedua hadits yang di-takhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas juga menggunakan redaksi yang tidak sama. Hal ini diakibatkan oleh sebagian materi informasinya berbentuk hadits fi’liyah dan merupakan konsekuensi logis dari adanya riwayat bi al makna yang pasti akan menimbulkan keberagaman redaksi.
Tegasnya, tidak ditemukan literatur pendukung yang menunjukkan bahwa praktik puasa orang-orang Yahudi pada saat itu adalah sama dengan doktrin puasa ‘asyura yang dilaksanakan kaum muslimin pada tanggal 10 Muharram. Meskipun demikian, bisa jadi bahwa pada saat kedatangan Rasulullah ke Madinah tersebut bertepatan atau beriringan dengan pelaksanaan puasa Yom Kippur tanggal 10 Tishrei atau pelaksanaan puasa Asarah B’Tevet, yang beriringan atau bertepatan dengan tanggal 10 Muharram sehingga diistilahkan oleh Ibn Abbas dengan ungkapan puasa ‘asyura. Jika demikian berarti puasa ‘asyura (10 Muharram) tidak sama dengan puasa Yom Kippur (10 Tishrei) dan puasa Asarah B’Tevet.
Selanjutnya jika kemungkinan itu benar, maka dapat dipastikan bahwa pelaksanaan puasa ‘asyura pada saat itu sama sekali tanpa didahului dengan persiapan sahur, sebab Rasulullah langsung melaksanakannya dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa setelah beliau mengetahui tradisi orang-orang Yahudi Madinah.
Narasumber dalam kesimpulannya: berdasarkan pembahasan terhadap riwayat Ibnu Abbas yang di-takhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang puasa ‘asyura yang baru dikenal pasca hijrah ditemukan indikasi adanya manipulasi sumber informasi (tadlis), penggunaan istilah dan penyebutan waktu yang tidak tepat juga ditemukan beberapa informasi yang kontradiktif tentang waktu pertama pengenalan dan diperintahkannya puasa ‘asyura, serta pernah tidaknya Rasulullah mempraktikkan puasa ‘asyura dan puasa tasu’a..
Selain pemaparan materi seminar juga dilanjutkan dengan diskusi tanya antara narasumber dengan peserta seminar secara interaktif dan saling berkalborasi agar tuntasnya pembahasan tema yang disajikan ini. (by:azy@staidukdg)